A.Pengertian Iman
Pengertian Iman secara etimologi yaitu iktiraf, membenarkan, mengakui,
pembenaran yang bersifat khusus , sebagaimana dalam firman Allah ta’ala :
"Wahai ayah kami, Sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami
tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala;
dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami
adalah orang-orang yang benar."(QS.Yusuf:17)
Secara terminologi Iman yaitu pengucapan dengan lisan, keyakinan dengan
hati, pengalaman dengan anggota tubuh, bertambah dengan melaksanakan
ketaatan dan berkurang dengan melaksanakan kemaksiatan.
Bahwa iman (tashdiq) yaitu mengakui di hati bahwa tiada tuhan yang
disembah melainkan Allah dan Nabi Muhammad SAW itu pesuruh Allah, ikrar
dengan lidah yaitu syahadah dan membuktikan dengan amalan anggota dengan
melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya.
Bila kita perhatikan penggunaan kata Iman dalam Al-Qur’an, akan mendapatinya dalam dua pengertian dasar , yaitu:
• Iman dengan pengertian membenarkan (التصديق) adalah membenarkan berita
yang datangnya dari Allah dan RasulNya. Dalam salah satu hadist shohih
diceritakan bahwa Rasulullah ketika menjawab pertanyaan Jibril tentang
Iman yang artinya bahwa yang dikatakan Iman itu adalah engkau beriman
kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulnya, hari kiamat
dan engkau beriman bahwa Qadar baik dan buruk adalah dari Allah SWT.
• Iman dengan pengertian amal atau ber-iltizam dengan amal : segala
perbuatan kebajikan yang tidak bertentangan dengan hukum yang telah
digariskan oleh syara’.
Dalam sebuah ayat Allah :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang
percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka
pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. (QS. Al-Hujuraat
:15)
Dari ayat tersebut, dapat dikatakan bahwa Iman adalah membenarkan Allah
dan RasulNya tanpa keraguan, berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwa. Pada akhir ayat tersebut “mereka Itulah orang-orang yang benar”
merupakan indikasi bahwa pada waktu itu ada golongan yang mengaku
beriman tanpa bukti, golongan ini sungguh telah berdusta dan mereka
tidak dapat memahami hakikat iman dengan sebenarnya. Mereka menganggap
bahwa iman itu hanya pengucapan yang dilakukan oleh bibir, tanpa
pembuktian apapun.
Coba perhatikan ayat berikut yang sama bentuknya dengan ayat di atas :
2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal.
3. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
4. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan
serta rezki (nikmat) yang mulia. (QS. Al-Anfaal :2-4)
Jelaslah bahwa hati yang gemetar, bertambahnya keimanan dan senantiasa
bertawakal kepada Allah, semuanya itu merupakan suatu perasaan yang
dapat dirasakan oleh hati mereka yang benar imannya. Ini berarti bahwa
Iman bukanlah semata-mata pembenaran yang terpendam didalam hati, namun
menuntut pula suatu pembenaran yang berwujud tindakan dalam kehidupan
sehari-hari. Setelah itu barulah perwujudan pelaksanaan sholat, zakat
dan lainnya yang merupakan bagian dari amal-amal Iman.
Iman Kepada Allah
Surat Ar-Rum 22-25
Menurut Tafsir Al-Maraghi setelah menyebutkan adanya Allah dengan
menyebutkan kejadian manusia maka aku iringi dengan menyebutkan
tanda-tanda dunia yang tampak dan dunia yang berbeda-beda dan dengan
perbedaan warna kulit manusia dan bahasa-bahasa yang berbeda yang tiada
terhitung jumlahnya, padahal mereka berasal dari satu keturunan yang
dengan itu mereka menyaksikan malam yang gelap gulita dan perubahan
siang yang begitu cepat yang mereka gunakan untuk mencari rezeki dengan
sungguh-sungguh.
Menurut Tafsir Bahrul Madid tanda-tanda kekuasaan Allah adalah
menciptakan langit dan bumi, kita dapat mengetahui tanda-tanda
kekuasaanNya melalui pengamatan terhadap perbedaan warna kulit dan
bahasa. Allah berfirman: , tanda-tanda yang lain adalah melahirkan siang
dan malam, tidur kamu diwaktu malam dan siang hari untuk mencari
rezeki. Usaha kamu baik siang maupun malam mencari sebagian dari
karunia-Nya dan diantara tanda-tanda itu benar-benar terdapat
bukti-bukti bagi kaum yang mendengarkan. Kemudian memperlihatkan kepada
makhluk-Nya berupa kilat supaya mereka mempunyai rasa takut dan harapan.
Tanda-tanda itu merupakan tanda-tanda bagi orang yang berakal.
Menurut Tafsir Jalalain terdapat kata Al-sinatikum, lafadz tersebut
berarti bahasa baik arab,begitu juga yang disebutkan dalam kitab
washolih bahwa sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah adalah
terciptanya langit,bumi dan apa yang ada didalam-Nya sreta
perbedaan bahasa diantara kamu. Dalam Qur’an surat Ar-rum ayat
22-25 terdapat banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah mulai
dari penciptaan ,perbedaan bahasa,warna kulit dan lain-Nya.semua
adalah tanda kekuasaan Allah yang mana apabila di amanati dan
difikirkan maka akan menimbulkan kesadaran dan rasa syukur
kepada sang pencipta (Qaulirrahmanurrahim) kata Ar-rahman
,Ar-Rahim merupakan dua nominal yang berasal dari kata rahmah
dan ditujukan untuk menunjukkan makna “sangat”.Ar-Rahman lebih
tegas dari pada Ar-Rahim.
Menurut Tafsir Al-Misbah Para ulama memahami ayat di atas dalam arti “
Di antara tanda-tanda-Nya adalah tidur kamu di waktu malam dan usaha
kamu mencari rezeki di waktu siang”. Ini sejalan dengan banyak ayat
al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah menjadikan malam untuk
beristirahat dan siang untuk mencari rezekinya. Memang secara umum malam
untuk tidur dan siang untuk bekerja. Tetapi pemahaman itu tidak harus
selalu demikian, tidak ada halangan memahami ayat-ayat di atas sesuai
bunyi. Apalagi dewasa ini malam telah menjadi waktu tidur sekaligus
untuk mencari rezeki dan siang digunakan juga untuk kedua tujuan
tersebut. Bahkan sebagian orang ada yang pekerjaannya lebih banyak dia
lakukan di waktu malam, dibanding dengan siang hari.
Pendapat ini dapat dikukuhkan dengan penyebutan kata fadhlihi. Kata
fadhl berarti kelebihan dari kadar kebutuhan, sebagaimana ia dipahami
pula dalam arti pemberian, karena pemberian adalah sesuatu yang melebihi
kebutuhan. Anugerah Allah dinamai fadhl karena Dia tidak membutuhkannya
bahkan tidak membutuhkan sesuatu. Di sisi lain, siapa yang bekerja
siang dan malam maka upayanya ketika itu dapat dinilai sebagai upaya
meraih kelebihan dari kadar kebutuhannya.
Perlu dicatat bahwa hingga kini, ilmuan belum mengetahui persis proses
tidur, bagaimana ia terjadi, apa hakikat mimpi dll. Tidur adalah salah
satu bukti kuasa Allah yang masih memerlukan banyak penelitian untuk
mengetahui hakikatnya.
Ayat di atas berbicara tentang kegiatan mencari rezeki dan tidur, di
tutup dengan li qaumin yasma’un “bagi kaum yang mendengarkan” tidur dan
usaha adalah diam dan bergerak. Keduanya dapat dijangkau melalui
pendengaran. Dengan demikian, sangat serasi penutup ayat ini dengan
bukti-bukti yang terhampar di alam raya yang dibicarakannya dengan gaya
al-Qur’an.menurut Thahir Ibn ‘Asyur ayat yang berbicara tentang tidur
dan upaya mencari rezeki ini diakhiri dengan penutup bagi kaum yang
mendengar, disebabkan oleh 2 hal. Pertama, kedua hal tersebut telah
merupakan kebiasaan manusia, sehingga mereka tidak lagi memperhatikan
bukti-bukti yang dikandungnya yang menunjuk kehebatan ciptaan Allah itu.
Kedua, karena apa yang didengar orang lain menyangkut keadaan sewaktu
tidur dari segi keagungan pengaturan Allah justru lebih banyak daripada
apa yang dirasakan oleh yang tidur menyangkut tidurnya. Ayat yang lalu
diakhiri dengan menyebut pendengaran. Disamping pendengaran, manusia
memiliki penglihatan.dari sini, ayat diatas berbicara tentang sebagian
dari apa yang dapat dilihat di angkasa. Yakni potensi listrik pada awan.
Allah berfirman : dan diantara tanda-tanda kekuasaaNya adalah dia
memperlihatkan kepada kamu dari saat ke saat kilat yakni cahaya yang
berkelebat dengan cepat dilangit untuk menimbulkan ketakutan dalam benak
kamu apalagi para pelaut., jangan sampai ia menyambar, dan juga untuk
menimbilkan harapan bagi turunnya hujan, lebih-lebih bagi yang berada di
darat dan Dia menurunkan air hujan dari langit yakni awan, lalu
menghidupkan bumi yakni tanah dengannya dengan air itu sesudah matinya
yakni sesudah kegersangan dan ketandusan tanah di bumi itu. Sesungguhnya
pada yang demikian hebat dan menakjubkan itu benar-benar terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah antara lain menghidupkan kembali yang telah
meti . tanda-tanda itu diperoleh dan bermanfaat bagi kaum yang berakal
yakni yang memikirkan dan merenungkannya. Kata thama’an digunakan untuk
menggambarkan keinginan kepada sesuatu, yang biasanya tidak mudah
diperoleh. Penggunaan kata itu disini, untuk mengisyaratkan bahwa hujan
adalah sesuatu yang berada diluar kemampuan manusia atau sangat sulut
diraihnya. Kini, walau ilmuan telah mengenal apa yang dinamai hujan
buatan, yakni cara-cara menurunkan hujan, tetapi cara itu belum lumrah,
dan yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka tidak dapat membuat
sekian bahan yang dapat diolah untuk terciptanya hujan. Ayat diatas
berbicara tentang turunnya hujan dan kilat yang menimbulkan harapan dan
kecemasan.ini dapat terjadi bagi siapapun, baik ia mengetahui tentang
sebab-sebab kilat dan proses turunnya hujan maupun tidak. rasa takut dan
cemas serta harap itu, dapat mengantar seseorang berhati-hati sehingga
tidak terjerumus di dalam pelanggaran atau dalam bahasa ayat di atas
ya’qiluun yakni mengikat nafsunya sehingga tidak terjerumus dalam
kedurhakaan dan kesalahan. Setelah menguraikan sekian banyak bukti yang
lahir akibat kehadiran dan sistem kerja langit dan bumi, ayat diatas
kembali berbicara tentang bukti-bukti kuasa Allah yang dapat ditemukan
pada kedua ciptaan-Nya itu. Ayat diatas menyatakan : Dan juga diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah berdirinya yakni mantap dan berjalannya
dengan sempurna sistem kerja langit dan bumi sehingga keduanya tidak
hancur atau tabrakan. Itu semua terlaksana dengan perintahNya, yakni
berdasarkan kehendak dan iradat Allah yang ditetapkanNya sendiri.
Itulah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan pula
kuasaNya membangkitkan manusia dari kubur. Semua tanda-tanda itu kamu
dapat lihat dan pahami dewasa ini. Kemudian setelah berlalu sekian lama
dari umur alam raya ini, hari kebangkitan itu akan tiba. Ketika itu,
apabila dia memanggil kamu sekali panggil saja dari bumi tempat kamu
dikubur, maka seketika itu juga tanpa tertunda sedikitpun, kamu semua
keluar dari kubur sambil menundukkan pandangan-pandangan bagaikan
belalang yang berterbangan.
Kata taquma terambil dari kata qama yang berarti berdiri. Kesiapan dan
kesigapan, serta kesungguhan dalam melakukan aktivitas dan
kesempurnaannya, biasa ditunjuk dengan kata berdiri. Karena itulah
keadaan dan posisi sempurna yang memungkinkan manusia bekerja secara
baik dan sempurna. Dari sini kata tersebut juga digunakan dalam arti
kemantapan sesuatu dalam bentuknya yang sempurna. Hal itu terlaksana
dengan baik bila semua sistem yang berkaitan dengannya berjalan
sempurna.
Kata tsumma pada ayat di atas dipahami oleh az-Zamakhsyari sebagai
isyarat tentang hebat dan besarnya peristiwa kiamat ketika itu,
sekaligus menggambarkan betapa besar kuasa Allah, yang hanya sekali
panggil saja, semua yang bernyawa sejak yang hidup pada masa lampau
sampai masa datang, semua bangkit menanti keputusan Allah SWT. Ada juga
yang memahami kata tersebut mengisyaratkan adanya kalimat yang tidak
disebut pada teks ayat, yaitu: “Kemudian setelah kematian kamu dan
peletakan kamu di kubur”.
Kata da’watan / sekali panggil berfungsi menjelaskan mudahnya bagi Allah
menghadirkan serta menghidupkan kembali manusia setelah kematiannya.
Panggilan yang dimaksud adalah peniupan sangkakala kedua oleh malaikat
israfil.
Ar-Rum 30
Menurut Tafsir Al-Maraghi setelah menyebutkan tanda-tanda Allah dengan
jelas dan dalil atas keMaha EsaanNya dan menetapkan contoh-contoh
dariNya, mengutus rasul atas kehendakNya tanpa berputus asa dari iman
mereka karena Allah telah menutup hati mereka maka tidak ada kebersihan
hati bagi mereka dari sesuatu yang datang dari Allah dan tidak ada yang
menuntun mereka pada iman kecuali Allah.
Menurut Tafsir Al-Misbah ayat ini menyatakan Allah mengarahkan kalam-Nya
kepada Nabi Muhammad SAW dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin umat
agar beliau bersama semua umat beliau mencamkan perintah Allah berikut
ini. Ayat di atas bagaikan menyatakan: “Setelah jelas bagimu-wahai
Nabi-duduk persoalan, maka pertahankanlah apa yang selama ini telah
engkau lakukan, hadapkanlah wajahmu serta arahkan semua perhatianmu,
kepada agama yang disyariatkan Allah yaitu agama islam dalam keadaan
lurus. Tetaplah mempertahankan fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia atasnya yakni menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan yakni fitrah Allah itu. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui yakni tidak memiliki pengetahuan
yang benar. Fitrah adalah mencipta sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh
sebelumnya. Dengan demikian kata tersebut dapat juga dipahami dalam
arti asal kejadian atau bawaan sejak lahir. Patron kata yang digunakan
ayat ini menunjuk kepada keadaan atau kondisi penciptaan itu, sebagaiman
diisyaratkan juga oleh lanjutan ayat ini yang menyatakan “yang telah
menciptakan manusia atasnya”.
Ayat di atas mempersamakan antara fitrah tersebut dengan agama yakni
agama islam, sebagaimana dipahami dari lanjutan ayat yang menyatakan
“Itulah agama yang lurus”. Jika pernyataan dikaitkan dengan pernyataan
bahwa Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu, maka ini
berarti bahwa agama yang benar atau agama islam mengandung ajaran-ajaran
yang sejalan dengan fitrah manusia.
Surat Al-Baqarah 163
Menurut Tafsir Al-Misbah membenarkan dan yakin bahwa Allah adalah Tuhan
kita semua bagi orang yang mukmin, maupun kafir dan munafik. Hanya dia
yang berhak disembah, siapa yang menyembah selain-Nya atau sesuatu
bersama-Nya maka ibadahnya tidak diterima. Dia Yang Maha Esa dalam Dzat,
sifat dan perbuatan-Nya. Tiada Tuhan yang berhak disembah, tiada juga
Penguasa yang menguasai dan mengatur seluruh alam raya melainkan Dia.
Dia Yang Maha Pemurah yang melimpahkan rahmat di dunia untuk seluruh
makhluk tanpa pilih kasih, serta lagi Maha Penyayang melimpahkan rahmat
khusus untuk yang taat kepadaNya di hari kemudian nanti.
Menurut Tafsir Jalalain tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali
Allah yang menguasai alam semesta ini dan Allah-lah yang memberi nikmat
kepada kita semua melalui sifat dan dzatNya ar-Rahman dan ar-Rahim.
Menurut Tafsir Bahrul Madid manusia berkewajiban menyembah Tuhan Yang
Maha Esa, tiada sekutu baginya, tiada perbandingan baginya, tiada
bilangan baginya, tiada tuhan selain dia, dan mereka tidak lebih
menyembah selain dia karena Dia adalah Dzat yang maha pengasih yang
telah memberi nikmat mewujudkan Yang Maha Pemurah, yang memberikan
nikmat yang tiada terhitung, segala sesuatu selain Dia tergolong sebagai
makhluk yang di siksa dan ada yang diberi nikmat, maka mereka tidak
boleh menyembah selain Allah.
Menurut Tafsir Showi tak ada yang membandingi dia dan sifat-sifatNya,
tidak ada Tuhan selain Dia, Dia Yang Maha Pengasih dan maha ar-rahman
dan ar-Rahim.
Surat Al-Baqarah 255
Menurut Tafsir Jalalain dijelaskan ;tidak ada tuhan yang hak
disembah ,melainkan dia(Allah) yang hidup kekal dalam
wujud-nya,yang terus menerus mengurus makhluk-Nya.dia yang
menguasai alam, dia tempat meminta pertolongan.Siapakah yang dapat
menandingi kenikmatan dari-Nya ?mengertilah bahwa Allah adalah
penguasa Alam.Kursi Allah meliputi dunia dan Akhirat-Nya .mereka
tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang di
kehendaki-nya .Rasul member khabar pada umat-nya;kursi Allah
meliputi langit dan bumi.Maka dari itu kita harus mempercayai
kekuasaan-nya .Diceritakan dari hadits lain;kursi Allah meliputi
langit yang berlapis-lapis (lauhil mahfudz-sidratul muntaha)mulai
dari langit pling atas sampai langit ke-tujuh .Dan tidak ada
yang dapat menandingin-Nya .Dan Allah tidak merasa berat
memelihara kedua-Nya .Allah maha tinggi lagi maha besar.
Menurut Tafsir Al-Misbah sifat-sifat Allah yang dikemukakan dalam ayat
ini disusun sedemikian rupa sehingga menampik setiap bisikan negative
yang dapat menghasilkan keraguan tentang pemeliharaan dan perlindungan
Allah.
Dalam ayat ini dilukiskan, betapa kekuasaan Allah SWT dan betapa dugaan
tentang keterbatasan pemeliharaan dan perlindungan-Nya yang mungkin
terlintas dalam benak manusia, dihapus oleh-Nya kata demi kata.
Dalam buku penulis Hidangan Ilahi: Tafsir ayat-ayat tahlil penulis
mengemukakan ketika membaca ayat al-Kursiy, sang pembaca menyerahkan
jiwa raganya kepada Tuhan seru sekalian alam dan kepadaNya pula ia
memohon perlindungan. Bisa jadi, ketika itu bisikan iblis terlintas
didalam benak yang membacanya, “Yang dimohonkan pertolongan dan
perlindungan-Nya itu, dahulu pernah ada, tetapi kini telah mati” maka
pengalan ayat berikut meyakinkan tentang kekeliruan bisikan itu, yakni
dengan sifat al-Hayy/ Yang Maha Hidup dengan kehidupan yang kekal. Bisa
jadi iblis datang lagi membawa keraguan dengan berkata, “memang Dia
hidup kekal tetapi Dia tidak pusing dengan urusan manusia, apalagi si
pemohon”. Penggalan ayat berikutnya manampik kebohongsn ini dengan
firmanNya al-qoyyum yakni yang terus menerus mengurus makhlukNya, dan
untuk lebih menyakinkan sifat Allah ini dilanjutkan dengan penggalan
berikutnya laa ta’khudzuhu sinatun wa la naum/ dia tidak dapat
dikalahkan kantuk dan tidur, tidak seperti manusia yang tidak kuasa
menahan kantuk dan tidak dapat mengelak selama lamanya dari tidur. Allah
terus menerus jaga dan siap siaga. Dengan penjelelasan ini sirna sudah
keraguan yang dibisikkan setan itu. Tetapi bisa jadi ia datang lagi
dengan bisikan bahwa, “Tuhan tidak kuasa menjangkau tempat dimana si
pemohon berada, ataupun kalau Dia sanggup, jangan sampai Dia diberi
sesaji sehingga Dia tidak memberi perlindungan. “untuk menampik bisikan
jahat ini, penggalan ayat berikutnya tampil dengan gambling menyatakan
lahu ma fi as-samawati wa ma fi al-ardh / milik-Nya apa yang ada di
langit dan apa yang ada dibumi. Keduanya berada dibawah kekuasaanNya.
Tidak hanya itu, tetapi berlanjut dengan firmanNya siapakah yang dapat
memberi syafa’at disisiNya kecuali dengan seizinNya ? tidak ada. Dia
demikian perkasa sehingga berbicara dihadapanNyapun harus setelah
memperoleh restuNya, bahkan apa yang harus disampaikan harus sesuai yang
benar dan hak.
Bisa jadi iblis belum putus asa menanamkan keraguan dihati pembaca ayat
al-kursiy. Ia berkata lagi, “musuh anda mempunyai rencana yang demikian
rinci dan penuh rahasia, sehingga tidak diketahui olehNya. Lanjutan ayat
al-kursiy menampik bisikan ini dengan firmanNYa Dia mengetahui apa yang
dihadapan mereka dan dibelakang mereka, yakni Allah mengetahui apa yang
mereka lakukan dan rencanakan, baik yang berkaitan dengan masa sekarang
dan yang akan datang. mereka tidak mengetahui sedikitpun dari ilmu
Tuhan melainkan apa yang dikehendaki Tuhan untuk mereka ketahui. Ini
berarti, apa ynag direncanakan Allah tidak mungkin mereka ketahui
kecuali yang diizinkanNya untuk mereka ketahui. Untuyk lebih menyakinkan
lagi dinyatakannya kekuasaan atau ilmunya mencakup langit dan bumi,
bahkan alam raya seluruhnya berada dalam genggaman tangannya. Kini,
sekali lagi iblis mungkin datang berbisik, “kalau demikian, terlalu luas
kekuasaan Allah dan terlalu banyak jangkauan urusanNya, Dia pasti letih
dan bosan mengurus semua itu”. Penggalan ayat berikutnya sekaligus
menutupnya, menampik bisikan ini dengan firmanNya : Allah tidak berat
memelihara keduanya dan Allah maha tinggi dan maha agung.
Demikian ayat al-kursiy menanamkan kedalam hati pembacanya kebesaran dan
kekuasaan Allah serta pertolongan dan perlindunganNya sehingga sangat
wajar dan logis penjelasan yang menyatakan bahwa siapa yang membaca ayat
al-kursiy maka ia memperoleh perlindungan Allah dan tidak akan diganggu
setan.
Bahwa jin jahat dan setan menjauh dari pembaca ayat al-kursiy, juga
dapat dijelaskan melalui ilustrasi berikut Siapa yang terbiasa dengan
kebaikan, pasti tidak senang mendengar kalimat-kalimat yang buruk,
telinganya tidak akan dapat mendengarkannya. Karena dengan mendengarnya
hatinya gundah dan risau, pikirannya kacau dan tidak menentu.
Sebaliknya, siapa yang bejat moralnya, yakni setan menusia atau jin ,
tidak akan senang dan tidak pula tenang mendengar kalimat-kalimat ilahi
apalagi ayat-ayat al-quran.
Diatas dikemukakan, bahwa dalam ayat al-kursiy itu terdapat 17 kali kata
yang menunjuk pada Allah, satu diantaranya tersirat. Selanjutnya,
terdapat 50 kata dalam susunan redaksinya. Pengulangan 17 kata yang
menunjuk nama Allah, bila dicamkan dan dihayati akan memberi kekuatan
batin tersendiri bagi pembacanya. Dari sinilah pakar tafsir iyu
mengaitkan bilangan ayat al-kursiy dengan perlindungfan Allah. Kalau
dihadirat Allah gangguan tidak mungkin akan menyentuh seseorang, dan
setan tidak akan mampu mendekat bahkan akan menjauh, maka menghadirkan
Allah dalam benak dan jiwa melalui yang sifatnya seperti diuraikan
diatas dapat menghindarkan manusia dari gangguan setan, serta member
perlindungan dari segala mecam yang ditakutinya. Demikian lebih kurang
al-biqai.
Surat Al-Hasyr 22-24
Menurut Tafsir Al-Maraghi sungguh tiada Tuhan selain Allah dan tiada
Tuhan di bumi ini selain Allah, maka segala sesuatu yang disembah selain
Allah baik itu pepohonan, batu, berhala, ataupun malaikat maka itu
sesat. Dia mengetahui segala sesuatu yang tampak dan yang tidak tampak
bagi kita, tidak ada kesamaran segala sesuatu yang ada di bumi dan di
langit, Dia adalah Dzat yang luas akan anugerahnya yang bisa dirasakan
oleh semua makhluk, Dia Maha Pengasih di dunia dan di akhirat. Allah
adalah raja, segala sesuatu yang berkehendak menjalankan sesuatu
tersebut tanpa ada halangan dan yang menghalangi, yang bersih dari
segala yang cacat dan kekurangan yang menjadikan makhluknya aman dari
penganiayaan, Dia yang Maha Mengawasi para makhluknya yang terbendung
dalam perkataannya (ayatnya) wallahu ‘ala kulli syaiin syahid. Dzat yang
Maha Memuliakan sesuatu tanpa dipaksa, yang mengalahkan sesuatu dengan
keagunggannya, maka tidak pantas memaksakan sesuatu kepadaNya dan tidak
menyombongkan diri padaNya kecuali dengan rasa mengagungkannya. Allah
adalah Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang menampakkan sesuatu
tersebut pada alam yang nyata atas sifat yang dikehendakinya, Allah juga
mempunyai sifat yang bagus untuk mensiasati dirinya sendiri tiada yang
dapat menyekutukannya.
Menurut Tafsir Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Dialah Allah, tiada Tuhan selain
Dia, Allah yang mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata baik di
dunia dan akhirat, pencurah rahmat bagi orang-orang beriman. Dia adalah
raja yang Maha Sempurna, yang menguasai, berkehendak, menjalankan
sesuatu tanpa ada seorangpun yang bisa menghalanginya. Dia yang memberi
keselamatan (rasa aman) dari penganiayaan. Dia yang menangani serta
mengawasi urusan makhluk-Nya. Dialah yang Maha Tinggi yang tidak dapat
terjangkau. Maha suci Allah. Dialah yang Maha Khaliq (menciptakan) semua
yang ada di bumi dan al-bari’ memisahkan sesuatu dari sesuatu misalnya
ruh kedalam jasad dan Dia yang memberi bentuk dan rupa untuk semua
ciptaanNya. Dialah yang Maha Baik dari semua makhluk.
Menurut Tafsir Al-Misbah ayat ini menunjuk-Nya dengan kata” Dia” yakni
Dia yang menurunkan Al-Qur'an dan yang disebut-sebut pada ayat-ayat yang
lalu Dia, Allah Yang tiada Tuhan yang berhak disembah, serta tiada
Pencipta dan Pengendali alam raya selain Dia, Dia Maha Mengetahui yang
ghaib baik yang nisbiyy/relatif maupun yang mutlak dan yang nyata,
Dia-lah saja ar-Rahman Pencurah rahmat yang bersifat sementara untuk
seluruh makhluk dalam pentas kehidupan dunia ini lagi ar-Rahim Pencurah
rahmat yang abadi bagi orang-orang beriman di akhirat nanti.
Al-Biqa’i berkomentar tentang kata huwa pada ayat ini, bahwa Dia yang
Wujud-Nya dari Dzat-Nya sendiri sehingga Dia sama sekali tidak disentuh
oleh ‘adam (ketiadaan) dalam bentuk apapun, dan dengan demikian tidak
ada wujud yang pantas disifati dengan kata tersebut selain-Nya, karena
Dialah yang selalu wujud sejak dahulu hingga kemudian yang tidak
terhingga. Dialah yang hadir pada setiap benak, dan yang ghaib (tidak
terjangkau) keagungan-Nya oleh semua indra dan karena itu pula gunung
retak karena takut kepada-Nya.
Kata huwa yang mendahului kata ar-Rahman ar-Rahim berfungsi
mengkhususkan kedua sifat itu dalam pengertiannya yang sempurna hanya
untuk Allah SWT.
Kata Allah sepintas tidak diperlukan lagi karena kata huwa telah
menunjuk kepada-Nya. Tetapi ini agaknya untuk mengambarkan semua
sifat-sifat tertentu, karena kata “Allah” menunjuk kepada Dzat yang
wajib wujud-Nya itu dengan semua sifat-Nya, baik sifat Dzat maupun
fi’il. Apabila berkata “Allah” maka apa yang diucapkan itu telah
mencakup semua nama-nama-Nya yang lain, sedang bila mengucapkan namaNya
yang lain misalnya ar-Rahim atau al-Malik maka ia hanya mengambarkan
sifat Rahmat atau sifat kepemilikan-Nya.
Penyebutan sifat ar-Rahman dan ar-Rahim setelah menegaskan
pengetahuan-Nya yang menyeluruh mengisyaratkan bahwa Dia Maha Mengetahui
keadaan makhluk-nya sehingga semua diberikan rahmat sesuai kebutuhan
dan kewajarannya menerima. Ayat tersebut menyebut beberapa sifat-Nya
yang dapat menggugah yang taat mengingat- Nya untuk lebih mendekat
kepadaNya dan mengingatkan yang durhaka dan lupa kepadaNya untuk
berhati-hati. Ayat tersebut kembali mengulangi penggalan awal ayat yang
lalu dengan menyatakan bahwa Dia Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Dia
adalah al-Malik Maha Pemilik segala sesuatu dengan sebenarnya lagi Maha
Raja, al-Quddus Maha Suci dari segala kekurangan dan segala yang tidak
pantas, as-Salam Maha Damai dan sejahtera, al-Mu’min Maha Mengaruniakan
keamanan, al-Muhaimin Maha Memelihara dan Maha Mengawasi, al-Aziz Maha
Agung, al-Jabbar Maha Perkasa, al-Mutakabbir Maha Tinggi, Maha Suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Kata al-Malik mengandung makna kekuatan dan keshabihan. Ia pada mulanya
berarti ikatan dan penguatan. Kata ini terulang di dalam Al-Qur’an
sebanyak 5 kali. Al-Malik mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu
disebabkan oleh kekuatan pengendalian dan keshahihannya. Malik yang
biasa diterjemahkan dengan raja adalah yang menguasai dan menangani
perintah dan larangan, anugerah dan pencabutan dan karena itu biasannya
kerajaan terarah kepada manusia dan tidak kepada barang yang sifatnya
tidak dapat menerima perintah dan larangan.
Dalam Al-Qur’an tanda-tanda kepemilikan kerajaan adalah kehadiran banyak
pihak kepadanya untuk bermohon pemenuhan kebutuhannhya dan atau untuk
menyampaikan persoalan-persoalan besar agar dapat tertanggulangi. Tidak
ada yang dapat memenuhi hal tersevut kecuali Allah SWT. Betapa tidak,
padahal sebagaimana yang telah dilukiskan Al-Qur’an tentangNya.
“ Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”. Q.S.Ar-Rahman : 29.
Menurut Imam Ghozali, al-Malik yang merupakan salah satu nama Allah Yang
mulia adalah Dia “Yang Dzat dan sifat-Nya tidak membutuhkan segala yang
wujud, bahkan segala yang wujud butuh kepada-Nya dalam segala sesuatu
dan menyangkut segala sesuatu. Segala sesuatu selain-Nya menjadi
milik-Nya”.
Kata Al-Quddus adalah kata yang mengandung makna kesucian. Dalam
penjelasan beberapa kamus bahasa arab karya al-Fairuzabadi ditemukan
bahwa Quddus adalah ath-Thahr auw al-Mubarak/Yang suci murni atau Yang
penuh keberkatan. Atas dasar inilah ada ulama mengartikan sebagai Yang
menghimpun semua makna-makna yang baik atau Yang terpuji dengan segala
macam kebajikan.
Menurut Imam al-Ghazali, Allah al-Quddus adalah Dia Yang Maha Suci dari
segala sifat yang dapat dijangkau oleh indra, dikhayalkan oleh
imajinasi, diduga oleh waham atau yang terlintas dalam nurani dan
pikiran.
Al-Biqa’i memahami ke-Quddus-an adalah “kesucian yang tidak menerima
perubahan, tidak disentuh oleh kekotoran, dan terus menerus terpuji
dengan langgengnya sifat itu”.
Allah Quddus-menurut al-Ghazali dalm arti Dia Maha Suci dari segala
sifat kesempurnaan yang diduga oleh banyak makhluk. Ini demikian, karena
pertama, mereka memandang kepada diri mereka dan mengetahui sifat-sifat
mereka serta menyadari adanya sifat sempurna pada diri mereka seperti
pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, kehendak dan
kebebasan. Manusia meletakkan sifat-sifat tersebut untuk makna-makna
tertentu dan menyatakan bahwa itu adalah sifat-sifat sempurna,
selanjutnya manusia juga menempatkan sifat-sifat yang berlawanan dengan
sifat-sifat di atas sebagai sifat kekurangan. Perlu disadari bahwa
manusia paling tinggi hanya dapat memberikan kepada Allah sifat-sifat
kesempurnaan seperti yang mereka nilai sebagai kesempurnaan, serta
mensucikan Allah dari sifat kekurangan, seperti lawan dari sifat-sifat
kesempurnaan di atas. Padahal sebenarnya Allah Maha Suci dari
sifat-sifat kesempurnaan yang diduga oleh manusia, sebagaimana Dia Maha
Suci dari sifat-sifat kekurangan yang dinafikan manusia, karena kedua
sifat tersebut lahir dari pemahaman manusia, padahal Dia Maha Suci dari
sifat yang terlintas dalam benak dan khayalan manusia, atau yang serupa
dengan apa yang terlintas itu. Seandainya tidak ada izin dari-Nya untuk
menamai-Nya dengan nama atau sifat-sifat tersebut karena hanya dengan
demikian manusia mampu mendekatkan pemahaman terhadap-Nya, seandainya
tidak ada izin tersebut, maka sifat-sifat kesempurnaan yang demikian itu
pun tidak wajar disandangkan kepada-Nya.
Jika demikian itu maknannya, berdasarkan pengertian kebahasaan maka
mengquddus-kan Allah bukan sekedar mensucikan Allah. Ini juga berarti
bahwa taqdis berbeda dengan tasbih walau sementara ulama
mempersamakan-Nya.
Memahami kata bertasbih dalam arti shalat atau bahwa pensucian dimaksud
adalah dengan ucapan dan perbuatan, sedang pensucian kedua yang
menggunakan kata nuqaddisu adalah pensucian-Nya dengan hati, yakni
mempercayai bahwa Allah memiliki sifat-sifat kesempurnaan yang sesuai
dengan keagungan-Nya, maka kata al-Quddus menunjukkan kesempurnaan
kerajaaan-Nya, sekaligus menampik adanya kesalahan, perusakan atau
kekejaman dari-Nya.
Menurut Ahmad Ibn Faris kata as-Salam makananya berkisar pada
keselamatan keterhindaran dari segala yang tercela. Allah adalah
as-Salam karena Yang Maha Esa itu terhindar dari segala aid, kekurangan
dan kepunahan yang dialami oleh para makhluk.
Ibn al-‘Arabi menyatakan bahwa semua ulama sepakat bahwa nama as-Salam
yang dinisbatkan kepada Allah berarti Dzu as-Salamah yakni pemilik
as-Salamah. Ada yang memahaminya dalam arti Allah terhindar dari segala
aib dan kekurangan, ada juga yang berpendapat bahwa Allah yang
menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya dan yang lain
berpendapat bahwa as-Salam yang dinisbatkan kepada Allah itu berarti
:Yang memberi salam kepada hamba-hamba-Nya di surga kelak”. Pendapat ini
sejalan dengan firmanNya:
“ (kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai Ucapan selamat dari Tuhan yang Maha Penyayang.” Q.S. Yasin : 58
Al-Ghazali menjelaskan bahwa maknanya adalah keterhindaran Dzat Allah
dari segala aib, sifat-Nya dari segala kekurangan dan perbuatan-Nya dari
segala kejahatan dan keburukan, sehingga dengan demikian tiada
keselamatan/keterhindaran dari keburukan dan aib yang diraih dan
terdapat di dunia ini kecuali merujuk kepada-Nya dan bersumber dari-Nya.
Kata Al-Mu’min terambil dari akar kata amina, yang melahirkan banyak
bentuk antara lain iman, amanah, dan aman. Amanah adalah lawan dari
khianat yang melahirkan ketenangan batin serta rasa aman karena adanya
pembenaran dan kepercayaan terhadap sesuatu, sedang iman adalah
pembenaran hati dan kepercayaan terhadap sesuatu.
Menurut Asy-Syanqithi al-Mu’min dapat di pahami sebagai pembenaran Allah
akan keimanan hamba-hamba-Nya yang beriman dan ini mengantar kepada
diterimanya iman mereka serta tercurahnya ganjaran kepada mereka. Atau
dapat juga dipahami sebagai pembenaran terhadap apa yang dijanjikan-Nya
kepada hamba-hamba-Nya.
Penulis cenderung menegaskan bahwa kata al-Mu’min dalam arti pemberi rasa aman, antara lain dalam firman-Nya:
“mengamankan mereka dari ketakutan.” QS. Quraish: 4
Ayat ini menunjukkan bahwa kaum kafir pun memperoleh rasa aman, namun
tentu saja rasa aman yang sempurna dirasakan oleh orang-orang mukmin.
Kata al-Muhaimin ditemukan 2 kali dalam al-Qur’an sekali menunjuk kepada
sifat Allah pada ayat yang ditafsirkan ini dan kali kedua menunjuk
kepada sifat al-Qur’an yakni pada QS. Al-Maidah : 48. Ada yang
berpendapat bahwa kata ini sama dengan kata al-mu’min karena menurut
mereka asal kata al-muhaimin adalah al-mu’amin. Pendapat yang lebih kuat
adalah yang mengartikan al-muhaimin sebagai yang menjadi saksi terhadap
sesuatu serta memeliharanya. Al-Qur’an adalah muhaimin terhadap
kitab-kitab yang lalu, karena ia menjadi saksi kebenaran tentang
kandungan kitab-kitab yang lalu yakni jika apa yang terdapat di sana
tidak bertentangan dengan yang tercantum dalam al-Qur’an. Sebaliknya ia
saksi bagi kesalahannya, jika bertolak belakang dengan kandungan
al-Qur’an. Dengan kesaksian itu al-Qur’an pun berfungsi sebagai
pemelihara.
Menurut Tahrir Ibn ‘Asyur kata al-Muhaimin adalah untuk menampik kesan
yang boleh jadi muncul bahwa rasa aman yang diberikan-Nya adalah karena
Dia lemah atau atau takut kepada yang lain. Dengan adanya kata
al-Muhaimin maka diketahui bahwa rasa aman yang diberikan-Nya itu adalah
karena adanya hikmah, sedang Dia sendiri Maha Mengawasi, karena itu
rasa aman yang diberikan-Nya adalah bukti dari rahmat-Nya.
Kata al-aziz terambil dari akar kata yang terdiri dari 2 huruf yaitu
‘ain dan za. Maknanya berkisar pada kekukuhan dan kemantapan. Dari sini
kemudian lahir makna-makna baru sesuai dengan konteks serta bentuk
mudhari’nya (kata kerja masa kini/datang). Jika bentuknya ya’uzzu maka
ini berarti mengalahkan, jika ya’izzu maka maknanya sangat jarang, atau
sedikit bahkan tidak ada samanya, dan jika ya’azzu maka ia berarti
menguatkan sehingga tidak dapat dibendung atau diraih. Ketiga makna
tersebut dapat menyifati Allah SWT.
Allah adalah al-Aziz yakni Yang Maha Mengalahkan siapa pun yang
melawan-Nya, dan tidak terkalahkan oleh siapa pun. Dia juga yang tidak
ada sama-Nya, serta tidak pula dapat dibendung kekuatan-Nya atau diraih
kedudukan-Nya, Dia begitu tinggi sehingga tidak dapat disentuh oleh
keburukan dan kehinaan. Dari sini al-Aziz biasa juga diartikan dengan
Yang Maha Mulia.
Menurut tinjauan bahasa, kata al-Jabbar mengandung makna keagungan,
ketinggian dan istiqamah yakni konsistensi. Ada yang berpendapat bahwa
kata jabbar yang disandang oleh Allah itu mengandung makana ketinggian
yang tidak dapat terjangkau. Allah adalah al-jabbar karena ketinggian
sifat-sifat-Nya yang menjadikan siapa pun tidak mampu menjangkau-Nya.
Ada juga yang memahami kata ini dalam arti menumbuhkan, menutup dan
memperbaiki, agar tetap dalam keadaannya semula atau istiqamah.
Kata al-mutakabbir mengandung makna kebesaran serta lawan dari kemudaan
atau kekecilan. Mutakabbir biasa diterjemahkan dengan angkuh. Menurut
Thahir Ibn ‘Asyur sifat-sifat Allah pada ayat tersebut dapat dibagi
menjadi 3 bagian. Bagian pertama, sesuai dan berkaitan dengan sikap kaum
musyrikin serta orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik yang bekerja
sama memusuhi serta memerangi Nabi dan kaum muslimin. Bagian kedua,
sesuai dan berkaitan dengan kaum beriman serta hasil yang mereka peroleh
menghadapi orang-orang Yahudi dan Bani an-Nadhir yang dibicarakan surat
ini. Bagian ketiga berkaitan dengan kedua kelompok yang disebut
terdahulu yakni kepada kaum beriman yang taat dan kepada para
pembangkang. Ayat ini menyatakan Dialah saja Allah Dzat yang wajib
wujud-Nya dan yang harus disembah. Dia adalah al-Khaliq Sang
Pencipta-al-Bari’, al-Mushawwir. Milik-Nya saja al-Asma al-Husna yakni
nama-nama terbaik. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan di bumi
dan Dia adalah al-Aziz Yang Maha Perkasa lagi al-hakim Maha Bijaksana.
Kata al-khaliq mempunyai makna mengukur atau memperhalus. Makna ini
kemudian berkembang antara lain : menciptakan (dari tiada), menciptakan
(tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengatur dan membuat. Menurut pakar
bahasa az-Zajjaj kata khalaq jika dimaksudkan dengan sifat Allah, maka
dia adalah awal proses penciptaan.
Kata al-bari’ berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu, Menurut Imam
Ghazali, mewujudkan sesuatu saja berbeda dengan mewujudkannya dengan
ukuran tertentu. Allah sebagai al-Bari’ adalah yang mewujudkannya saja
dari ketiadaan menuju ada, tanpa ukuran.
Kata al-Mushawwir berarti Dia yang memberinya bentuk dan rupa, cara dan
substansi bagi ciptaan-Nya. Penciptaan sejak proses pertama hingga
lahirnya sesuatu dengan ukuran tertentu, bentuk, rupa, cara dan
substansi tertentu, sering kali hanya dilukiskan al-Qur’an dengan kata
al-Khalaq. Allah SWT menciptakan segala sesuatu secara sempurna dan
dalam bentuk yang sebaik-baiknya sesuai firman-Nya:
“yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya” QS. As-Sajdah : 7
Tentu saja untuk mencipta dengan tujuan tertentu, memerlukan pengetahuan
yang mendalam, menyangkut bahan-bahan ciptaan, kadar yang diperlukan,
waktu dan tempat yang sesuai serta sarana dan prasarana guna suksesnya
peranan yang diharapkan oleh pencipta dari ciptaanya.
Kata al-hakim mempunyai makna mengetahui yang paling utama dari segala
sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Seorang yang ahli dalam
melakukan sesuatu dinamai hakim. Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan
dalam pengaturannya dialah yang hakim.
Kebanyakan sifat Allah al-hakim dirangkaikan dengan al-Aziz. Ini agaknya
untuk menunjukkan bahwa ketetapan yang diambil Allah dilaksanakan-Nya
sesuai yang dikehendaki-Nya dan tidak satu pun yang dapat menghalangi
terlaksananya kehendak itu. Perurutan penyebutan sifat-sifat Allah di
atas berfungsi menampik kesan negatif yang mungkin timbul dalam benak
ketika mendengar sifat yang disebut sebelumnya, sekaligus menyempurnakan
apa yang boleh jadi diduga belum sempurna.
loading...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
loading...
0 Response to "Makalah Tentang Iman Kepada Allah - Makalah Agama Islam"
Post a Comment