BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan
negara kesatuan yang berbentuk republik. Hal tersebut merupakan hasil daripada
upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari pihak-pihak yang sering
merongrong kemerdekaan Indonesia. Sebagai negara kesatuan sudah barang tentu
kemajemukan menjadi hal yang pasti akan dijumpai dalam dunia kemasyarakatannya.
Hal itu dapat dilihat dari beragamnya suku bangsa dan sistem sosial yang ada di
Indonesia.
Keberagaman tersebut
dibingkai dalam sebuah negara kesatuan. Dimana kemajemukan tersebut dijadikan
satu diatas perbedaan yang ada. Karena Indonesia merupakan negara yang beragam
ras dan suku bangsanya, maka Indonesia juga dapat dikatakan sebagai sebuah
negara-bangsa. Hal ini dapat tercermin kutipan Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang dikutip oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia
(1998) bahwa :
Hakikat negara
kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan
modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan
-atau nasionalisme- yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa
depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut
berbeda-beda agama, ras, etnik atau golongannya.
Hal tersebut di atas
secara tersirat menunjukkan bahwa terbentuknya negara kesatuan Indonesia ialah
oleh adanya semangat persatuan dan rasa untuk berdiri di atas paham kebangsaan.
Bukan lagi di atas paham kesukuan atau rasa chauvinistis dan primordialisme.
Secara historis tercatat bahwa semangat keindonesiaan menjadi landasan para
pendiri dan pejuang bangsa untuk bersatu. Kemudian rasa kebangsaan menjadi
salah satu dasar daripada berdirinya sebuah bangsa yang kemudian bernama
Indonesia.
Sudah sangat jelas
bahwasanya poros utama terbentuknya negara-bangsa ialah nasionalisme.
Nasionalisme Indonesia akan turut serta menentukan dan memperlihatkan
eksistensi daripada negara-bangsa tersebut. Nasionalisme bukan hanya harus
dimiliki dalam masa mengusir penjajahan (seperti yang terjadi di beberapa
negara, juga Indonesia, dalam merebut kemerdekaan) namun pula harus terus
dimiliki sampai kapanpun. Hal ini guna tetap mempertahankan eksistensi dan
identitas kebangsaan negara yang bersangkutan.
Jika kita melihat
kondisi nasionalisme dari negara-bangsa Indonesia dewasa ini dapat terlihatlah
adanya sebuah penipisan dan pemunduran. Kita dapat melihat, bahwa rasa
nasionalisme bangsa ini telah sampai kepada titik yang sangat mengkhawatirkan
dan membahayakan bagi eksistensi negara-bangsa Indonesia. Dalam bidang
politik misalnya, kita akan melihat maraknya disintegrasi bangsa yang
disebabkan oleh menipisnya rasa nasionalisme sehingga berujung kepada ancaman
pecahnya kesatuan dan persatuan nasional. Etnisitas dan gerakan separatis
seolah menjadi jamur di musim hujan. Konflik yang mengatasnamakan ras dan suku
dari hari ke hari semakin menjadi. Gerakan separatispun semakin menunjukkan
bahwa persatuan dan kesatuan nasional memang sedang terancam. Pasca reformasi
terjadi gerakan-gerakan tersebut semakin nyata terasa.
Kekhawatiran tentang
perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan
sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah berjalan
menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru. Segala hal yang
terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan
dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan
menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah
tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas
atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai
terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.
Penyebab timbulnya
disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang
memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga
daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat yang tinggi.
Selain itu
disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa
ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen
politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi
sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk
primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama.
Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar
telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian
besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para
elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus kearah
terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.
Sebetulnya gerakan
separatis bukan hal baru dalam dinamika kenegaraan Indonesia. Secara historis
dan sosiologis tercatat bahwa di Indonesia, setelah kemerdekaan, kerap terjadi
berbagai gerakan yang berupaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Diantaranya yang tercatat ialah DI/TII (gerakan mendirikan
negara islam), Republik Maluku Selatan (gerakan yang berupa upaya pemisahan
diri kawasan Maluku dari wilayah NKRI), dan OPM (gerakan di Papua yang ingin
memisahkan diri dari NKRI yang didasari ketidaksamaan unsur historis bangsa).
Hal tersebut sedikit
banyak mempengaruhi sikap nasionalisme seorang anak bangsa. Karena, dari Sabang
sampai Merauke, NKRI ini dibentuk dan berdiri dengan dasar sikap kebangsaan
yang merasa satu dalam nasib dan perjuangan. Oleh karenanya kajian mengenai
fenomena disintegrasi bangsa yang berpengaruh terhadap sikap nasionalisme
Indonesia menarik untuk dikaji sebagai bentuk penumbuhan dan pengembangan
pengetahuan dan pemahaman mengenai Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DISINTEGRASI BANGSA MASA REVOLUSI FISIK
Negara-bangsa
Indonesia merupakan sebuah entitas yang berdiri di atas kemajemukan.
Sebenarnya, kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor yang kemudian
menyebabkan terbentuknya negara-bangsa Indonesia. Kemajemukan masyarakat
Indonesia terlihat seperti yang dinyatakan oleh Furnivall (Nasikun, 2006 : 35),
bahwa “masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk (plural society),
yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan
politik”.
Struktur masyarakat
Indonesia yang majemuk telah menimbulkan persoalan intergrasi pada tingkatan
nasional. Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan
telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia
terintegrasi secara horizontal. Maka, tak jarang kemajemukan bangsa Indonesia
dapat menyebabkan konflik horizontal yang berujung pada ancaman disintegrasi
bangsa.
Hal tersebut terekam
secara historis bahwa dalam enam dasawarsa perikehidupan kenegaraan di tanah
air, terbukti bangsa Indonesia pernah mengalami beberapa kali
konflik yang erat kaitannya dengan unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar
golongan) serta politik. Sekalipun masalah SARA ini tidak sampai berujung pada
terjadinya separatisme pada wilayah Indonesia yang sudah bersatu sejak awal
kemerdekaan. Namun harus diakui bahwa beberapa kelompok kecil masyarakat
lainnya telah menunjukkan bahwa di Indonesia mempunyai potensi untuk itu.
Maraknya
disintegrasi bangsa disebabkan oleh menipisnya rasa nasionalisme. Sehingga
berujung kepada ancaman pecahnya kesatuan dan persatuan nasional. Etnisitas dan
gerakan separatis seolah menjadi jamur di musim hujan. Konflik yang
mengatasnamakan ras dan suku dari hari ke hari semakin menjadi. Gerakan separatispun
semakin menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan nasional memang sedang
terancam. Selain itu konflik yang bernuansa etnis atau antar golongan
disebabkan karena lunturnya nilai-nilai agama, adat dan sejarah. Kini hal
tersebut telah dikalahkan oleh egoisme SARA itu sendiri.
Gerakan separatisme
yang mengancam disintegrasi bangsa sebenarnya telah muncul sejak dahulu. Hal
ini dapat dilihat dari maraknya gerakan-gerakan separatis seperti DI/TII, RMS
atau PRRI/PERMESTA. Namun, meningkatnya tensi separatisme dirasakan pada masa
pasca reformasi berlangsung.Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi
Azra (2002 : 120-122) bahwa :
Kejatuhan Presiden
Soeharto dari singgasananya pada Mei 1998 sebagai akibat lanjutan dari krisis
moneter, ekonomi dan politik telah mengancam integrasi nasional negara-bangsa
Indonesia…. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, sistem
sosial yang berbeda kelihatannya semakin rapuh.
Menurut F.M. Suseno
(Richard M Daulay, 2003 : 31-40), ada beberapa hal yang menyebabkan maraknya
fanatisme sehingga pecahnya integrasi nasional. Pertama ialah
masalah sentralisme, yang kedua ialah masalah primordialisme,
dan yangketiga adalah permasalahan ketidakadilan sosial. Kesemuanya
tersebut nampak dalam beberapa konflik yang menyebabkan disintegrasi, seperti
yang terjadi di Aceh, Papua, Riau, Ambon dan Timor-Timor. Permasalahan
disintegrasi bangsa merupakan tantangan yang harus dihadapi demi bertahannya
eksistensi negara-bangsa Indonesia yang didasarkan atas konsesus bersama serta
sikap dan jiwa nasionalisme.
Disintegrasi bangsa
juga dapat ditinjau dari maraknya konflik horizontal yang bersifat politis
maupun ideologis. Pada tingkatan ideologis, konflik tersebut terwujud dalam
bentuk konflik antara sistem-nilai yang dianut serta menjadi ideologi dari
berbagai kesatuan sosial. Pada konflik yang bersifat politis, konflik tersebut
terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan
sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya di dalam masyarakat. Konflik-konflik
ini biasanya terjadi pada kalangan elite yang akan berekses terhadap kalangan graas
roots (kalangan pada tingkatan terbawah).
Situasi konflik
seperti itulah yang kemudian membuat para pihak yang berselisih akan berusaha
mengabadikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas ke dalam diantara sesama
anggotanya. Diantaranya ialah dengan membentuk organisasi-organisasi
kemasyarakatan, bersaing dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan politik.
Hal tersebut nampak dalam konflik komunal bangsa Indonesia atau konflik antar
elite partai politik. Sehingga hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi
negara-bangsa Indonesia.
Strategi seperti apa
yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengatasi disintegrasi bangsa
tersebut. Strategi tersebut diantaranya ialah seperti yang dikemukakan oleh
Richard M Daulay (2003 : 31-40) pertama, dengan memperkuat kembali
Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional yang dapat memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa. Kedua, menciptakan keadilan sosial dan pemerataan
antara pusat dan daerah. Ketiga, membangun budaya Indonesia yang
akan menyatukan seluruh elemen bangsa. Keempat ialah
pelaksanaan otonomi daerah yang benar dan tepat. Sehingga antar daerah akan
terjalin kerjasama dan kemajuan tanpa harus menimbulkan kecemburuan dan keinginan
untuk memisahkan diri.
Artinya secara
sederhana dapat dikatakan ada dua hal yang dapat ditempuh untuk mengatasi
masalah tersebut.Pertama, secara politis (struktural) dan yang kedua ialah
secara sosial (kultural). Secara struktural diharapkan pemerintah dapat membuat
dan menerapkan kebijakan-kabijakan yang dapat dikatakan merata dan tidak
membuat kecemburuan antar suku bangsa. Sedangkan secara kultural bahwa
diharapkan masyarakat sebagai sebuah kesatuan dapat secara aktif
mengeratkan diri melalui budaya lokal yang dapat menjadi penyangga bagi
kesatuan nasional.
B. ANCAMAN
DISINTEGRASI BANGSA PADA MASA REVOLUSI FISIK
1. PKI
MADIUN 1948
Waktu : 1948,
dengan memproklamasikan berdirina Negara Republik Soviet Indonesia
Sebab : Hasil
kesepakatan Renville menguntungkan Belanda
Pemimpin : Muso
Cara
Penumpasan: Pemerintah mengajak rakyat ( Gerakan Operasi Militer I ) dan
melakukan penyitaan dan pelarangan terhadap beberapa surat kabar berhaluan
komunis
Hasil :
Pemberontak ditumpas dan Madiun direbut kembali
Munculnya
PKI merupakan awal dari perpecahan pada SI ( Sarikat Islam ) yang mendapat
pengaruh ISDV ( Internasionalisme Sosialisme Democratise Vereeniging ) yang
didirikan oleh H.J.F.M Snevliet dkk pada bulan Mei 1914 di Semarang, lalu pada
bulan Desember diubah menjadi PKI.
Pada tanggal
13 Nopember 1926 PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Lalu
pada tanggal 18 September 1948 Muso memimpin pemberontakan terhadap RI di
Madiun, yang bertujuan ingin mengubah dasar negara Pancasila menjadi dasar
negara Komunis. Pemberontakan ini ikut menyebar hampir di seluruh daerah Jawa
Timur namun berhasil di gagalkan dengan ditembak matinya Muso sedangkan Semaun
dan Dharsono lari ke Rusia.
2. APRA ( ANGKATAN PERANG RATU ADIL )
2. APRA ( ANGKATAN PERANG RATU ADIL )
Waktu : 23 Januari 1950
Latar belakang : APRA menuntut supaya APRA diakui sebagai
Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Pasundan/negara Federal tersebut.
Pemimpin : Kapten Raymond Westerling
Cara mengatasi : Melakukan gerakan operasi militer
Hasil : Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada
tanggal 4 April 1950. Akan tetapi, Westerling berhasil melarikan diri ke luar
negeri
Pemberontakan
ini dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling bekas tentara KNIL. Tujuannya agar
pemerintah RIS dan negara Pasundan mengakui APRA sebagai tentara negara
Pasundan dan agar negara Pasundfan tidak dibubarkan/dilebur ke dalam NKRI.
3. PEMBERONTAKAN
ANDI AZIS
Waktu : 5 Januari 1950
Latar belakang : Menyerang gedung tempat berlangsungnya
sidang kabinet
Pemimpin : Andi Azis
Cara penumpasan : Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan
ultimatum bahwa dalam waktu 4x24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hasil : pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata
dikembalikan, dan semua tawanan harus dilepaskan.
Beliau
merupakan komandan kompi APRIS yang menolak kedatangan TNI ke Sulawesi Selatan
karena suasananya tidak aman dan terjadi demonstrasi pro dan kontra terhadap
negara federasi. Ia dan pasukannya menyerang lapangan terbang, kantor telkom,
dan pos-pos militer TNI. Pemerintah mengeluarkan ultimatum agar dalam tempo 4 x
24 jam ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
4. RMS (
REPUBLIK MALUKU SELATAN )
Waktu : 25 April 1950
Latar belakang : Tidak puas dengan terjadinya proses
kembali ke NKRI
Pemimpin : Dr. Christian Robert Steven Soumokil
Cara penumpasan : diselesaikan secara damai dengan
mengirimlkan misi dipimpin Leimena gagal sehingga kemudian dikrimkan pasukan
ekspedisi militer pimpinan Kawilarang.
Hasil : Sisa – sisa kekuatan RMS banyak yang melarikan diri
ke pulau seram dan membuat kekacauan akhirnya Soumokil dapat di tangkap dan
jatuhi hukuman mati
Pemberontakan ini dipimpin oleh Dr. Christian Robert
Stevenson Soumokil bekas jaksa agung NIT ( Negara Indonesia Timur ). Ia
menyatakan berdirinya Republik Maluku Selatan dan memproklamasikannya pada 25
April 1950. Pemberontakan ini dapat ditumpas setelah dibayar mahal dengan
kematian Letkol Slamet Riyadi, Letkol S. Sudiarto dan Mayor Abdullah.
5. PRRI/PERMESTA
5. PRRI/PERMESTA
PRRI ( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia )
Waktu : 15 Februari 1958
Latar belakang : Keinginan adanya otonomi yg luas
Pemimpin : Letnal Kolonel Achmad Husein
Cara penumpasan : Operasi militer Pemerintah mengerahkan
pasukan militer terbesar di sejarah militer Indonesia
Hasil : Operasi militer dipimpin AE Kaliurang berhasil
kembali menguasai daerah
PERMESTA ( Piagam Perjuangan Rakyat Semesta )
Waktu : 7 Februari 1958
Latar belakang : Masyarakat di manado tidak puas dengan
keadaan ekonomi
Pemimpin : Letkol Ventje Sumual
Cara penumpasan : Pemerintah Republik Indonesia menggunakan
operasi militer untuk menghentikan pemberontakan
Setelah Pemilu I dilaksanakan, situasi semakin memburuk dan
terjadi pertentangan . Beberapa daerah merasa seolah-olah diberlakukan secara
tidak adil ( merasa dianaktirikan ) sehingga muncul gerakan separatis di
Sumatera yaitu PRRI ( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ) dipimpin
oleh Kolonel Ahmad Husen dan PERMESTA ( Piagam Perjuangan Rakyat Semesta ) di
Sulawesi Utara dipimpin oleh D.J. Somba dan Kolonel Ventje Sumual.
6. G30
S/PKI
Waktu : 30 September 1998
Latar belakang : Mengganti Ideologi Pancasil
Pemimpin : DN Aidit
Cara penumpasan : Operasi Militer
Hasil : PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan dibubarkan
Pada tanggal 30 September 1965 jam 03.00 dinihari PKI
melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh DN Aidit dan berhasil membunuh 7
perwira tinggi. Mereka punya tekad ingin menggantikan Pancasila sebagai dasar
negara dengan Komunis-Marxis. Setelah jelas terungkap bahwa PKI punya keinginan
lain maka diadakan operasi penumpasan :
1. Menginsyafkan kesatuan-keasatuan yang
dimanfaatkan oleh PKI
2. Merebut studio RRI dan kantor besar Telkom
dipimpin Kolonel Sarwo Edhy Wibowo dari RPKAD
3. Gerakan pembersihan terhadap tokoh-tokoh
yang terlibat langsung maupun yang mendalanginya.
Akhirnya PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan tidak
boleh lagi tersebar di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan SK Presiden yang
ditanda tangani pengemban Supersemar Ltjen Soeharto yang menetapkan pembubaran
PKI dan ormas-ormasnya tanggal 12 Maret 1966.
Pada tanggal 29 Oktober 1949 dapat ditandatangani Piagam
Persetujuan Konstitusi RIS. Piagam persetujuan konferensi RIS antara Republik
Indonesia dengan BFO. Hasil keputusan KMB diajukan kepada Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Selanjutnya KNIP bersidang dari tanggal 6-14 Desember
1949 untuk membahas hasil-hasil itu. Pembahasan hasil KMB oleh pihak KNIP
dilakukan melalui pemungutan suara dengan KNIP menerima hasil KMB.
Salah satu keputusan KMB di Den Haag Belanda adalah
Indonesia menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia serikat. Untuk
menjadi RIS tersebut, KNIP dan DPR mengadakan sidang di Jakarta. Sidang
tersebut berhasil menyetujui naskah konstitusi untuk RIS yang dikenal sebagai
UUD RIS. Pada tanggal 16 Desember 1949 diadakan sidang pemilihan Presiden RIS
di Gedung Kepatihan, Yogyakarta oleh wakil dari enam belas negara bagian.
Sidang itu dipimpin oleh Muh. Roem dan anak Agung Gede Agung. pada tanggal 14
Desember 1949 para wakil pemerintah yang menjadi bagian dari RIS. Pada tanggal
14 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden RIS dengan calon tunggal Ir.
Soekarno. Akhirnya, Ir. Soekarno terpilih sebagai presiden, kemudian dilantik
dan diambil sumpahnya pada tanggal 17 Desember 1949. Tanggal 17 Desember 1949
diadakan upacara pelantikan Presiden RIS di Bangsal Sitinggil, Keraton
Yogyakarta. Drs Moh. Hatta menjadi perdana menteri yang akan memimpin kabinet
RIS. Berdasarkan UUD RIS maka DPR RIS terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Negara yang disebut senat. Kekuasaan pemerintahan dipegang
oleh perdana menteri. Presiden hanya mempunyai wewengang untuk mengesahkan
hasil keputusan cabinet yang dipimpinoleh perdana menteri.
Republik Indonesia Serikat terdiri beberapa
negara bagian, yaitu:
1. Negara
Republik Indonesia (RIS)
2. Negara
Indonesia Timur
3. Negara
Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara
Jawa Timur
5. Negara
Madura
6. Negara
Sumatera Timur
7. Negara
Sumatera Selatan
Di
samping itu, ada juga wilayah yang berdiri sendiri (otonom) dan tak tergabung
dalam federasi, yaitu:
1. Jawa
Tengah
2. Kalimantan
Barat (Daerah Istimewa)
3. Dayak
Besar
4. Daerah
Banjar
5. Kalimantan
Tenggara
6. Kalimantan
Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir)
7. Bangka
8. Belitung
9. Riau
Republik
Indonesia Serikat memiliki konstitusi yaitu Konstitusi RIS. Piagam Konstitusi
RIS ditandatangani oleh para Pimpinan Negara/Daerah dari 16 Negara/Daerah
Bagian RIS, yaitu
1. Mr. Susanto
Tirtoprodjo dari Negara Republik Indonesia menurut perjanjian Renville.
2. Sultan
Hamid II dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat
3. Ide
Anak Agoeng Gde Agoeng dari Negara Indonesia Timur
4. R.
A. A. Tjakraningrat dari Negara Madura
5. Mohammad
Hanafiah dari Daerah Banjar
6. Mohammad
Jusuf Rasidi dari Bangka
7. K.A. Mohammad
Jusuf dari Belitung
8. Muhran
bin Haji Ali dari Dayak Besar
9. Dr. R.V.
Sudjito dari Jawa Tengah
10. Raden
Soedarmo dari Negara Jawa Timur
11. M.
Jamani dari Kalimantan Tenggara
12. A.P.
Sosronegoro dari Kalimantan Timur
13. Mr. Djumhana
Wiriatmadja dari Negara Pasundan
14. Radja
Mohammad dari Riau
15. Abdul
Malik dari Negara Sumatera Selatan
16. Radja
Kaliamsyah Sinaga dari Negara Sumatera Timur
D. GERAKAN RMS ( REPUBLIK MALUKU SELATAN )
1. Penyebab / Latar Belakang
Pemberontakan RMS
Pemberontakan
Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu, mereka
tidak puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa
(NKRI). Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa
bahwa status mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan
anggota APRIS mengatasi keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat
untuk kembali ke pangkuan NKRI. Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali
masyarakat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang
diantaranya terror dan intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat, terlebih
setelah teror yang dibantu oleh anggota Polisi yang telah dibantu dengan
pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh seorang
kapten bernama Raymond Westerling yang bertempat di Batujajar yang berada di
daerah Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut bahkan sampai memakan
korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi pembunuhan dan
penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para biokrat pemerintah
daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI
akan menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat diingatkan
untuk menghindari dan waspada dari ancaman bahaya tersebut.
Pada
tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen
NIT sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya
kabinet NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan
pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan
berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para
anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang berlangsung
di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah
Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh
anggota dewan yang berada di daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul
tersebut ditolak karena anggota dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan
proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku
Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat
kedua di bawah ancaman senjata.
2. Tujuan Pemberontakan RMS di
Maluku
Pemberontakan
RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk
melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum
diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai
yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu
melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam
menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil mengumpulkan kekuatan dari
masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu, sekelompok orang
yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam
dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang buruk oleh
Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan
berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai Presiden
dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas
Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B
Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane,
Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.
Pada
tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS
untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei
1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan.
Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor
KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi di angkatan perang
tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil mengangkat sersan mayor Pattiwale,
dan anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor Kastanja, Sersan Mayor
Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem kepangkatannya mengikuti system
dari KNIL.
3. Upaya Penumpasan
Pemberontakan RMS di Maluku
Dalam
upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara
berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi
perdamaian yang dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr. Leimena.
Namun, misi yang diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi
perdamaian yang dikirim oleh pemerintah terdiri atas para pendeta, politikus,
dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan pengikut Soumokil.
Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut.
Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut.
Dengan
jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat perlawanan
yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5
Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta
Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang
tadinya menjabat sebagai presiden RMS tertangkap di pulau Seram, Sementara itu
sebagian pimpinan RMS lainnya melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu,
RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan di
pengasingan (Government In Exile).
Beberapa
tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya dimajukan ke
meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi hukuman tehadap :
1.
J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun
2.
Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam
Negeri di jatuhi hukuman 5 Tahun
3.
D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di
jatuhi hukuman 4 ½ Tahun
4.
J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di
jatuhi hukuman selama 4 ½ Tahun
5.
G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi
hukuman selama 5 ½ Tahun
6.
Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi
hukuman selama 4 ½ Tahun
7.
J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di
jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun
8.
D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di
jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun
9.
Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan
di jatuhi hukuman selama 3 Tahun
10.
F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi
hukuman selama 4 Tahun
11.
T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di
jatuhi hukuman selama 7 tahun
12.
D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS
di jatuhi hukuman selama 10 Tahun
Sementara
itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang berada
di pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963. Pada
Tahun 1964, Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan Soumokil
berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa Indonesia, namun pada saat itu ia
selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat persidangan di mulai, hakim
mengutus seorang penerjemah untuk membantu persidangan Soumokil. Akhirnya pada
tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi hukuman mati. Eksekusi pun
dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di Pulau Obi yang
berada di wilayah kepulauan Seribu di sebelah Utara Kota Jakarta.
Sepeninggal
Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda.
Pengganti Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun
1966-1992, selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010 dan
kemudian digantikan oleh John Wattilete.
4. Dampak dari Pemberontakan
RMS di Maluku
Pada
Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di
gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan
oleh beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok
Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah merampas
kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api tersebut.
Pada
tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan
acara pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang
ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut
dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur
Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan
pelaksana pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut
terus dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera
RMS di Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang
berada di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan tersebut,
terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Tidak
cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan keberadaannya
kepada masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-segan untuk meminta
pengadilan negeri Den Haang untuk menuntut Presiden SBY (Susilo Bambang
Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan
terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi pada tahun 2007, dimana
pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menghadiri hari
Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku. Ironisnya, pada saat
penari Cakalele masuk ke dalam lapangan, mereka tidak tanggung-tanggung untuk
mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagai tantangan
dan paradoksial dari NKRI, maka disintegrasi bangsa haruslah dicegah dan
dihilangkan dari bumi Indonesia. Pemecahan masalah tersebut dapat dilakukan
lwat dua pendekatan, yakni secara struktural dan kultural. Secara struktural
dengan cara pemerintah yang berwenang (pusat dan daerah) mengeluarkan kebijakan
yang dapat menangkal berbagai hal yang berkenaan dengan disintegrasi bangsa.
Secara kultural ialah dengan memberdayakan seluruh elemen kemasyarakatan dalam
upaya penangkalan disintegrasi bangsa. Sehingga pencegahan disintegrasi bangsa
dilakukan secara sistemis dan holistik.
Strategi yang dapat
digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara lain :
a. Menanamkan
nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan,
agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
b. Penyebaran dan
pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam
rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.
c. Menumpas setiap
gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
d. Membentuk
satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam
memerangi separatis.
Upaya untuk
menanggulangi tantangan disintegrasi bangsa ialah dengan cara memperkuat sendi
persatuan dan kesatuan yaitu dari sendi ekonomi, politik dan ideologi negara.
Dari segi ekonomi ialah dengan cara membuat kebijakan kebijakan yang merata dan
tidak bersifat diskriminatif terhadap daerah-daerah di Indonesia. Sedangkan
segi politis dan ideologis ialah bahwa kebijakan pemerintah jangan sampai
menimbulkan kesenjangan antar daerah dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi
bersama yang dapat mengeratkan keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di
Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Moedjanto. 1993. Indonesia
Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Ricklefs. 1991. Sejarah
Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika
Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press.
membantu sekali kak makasih
ReplyDeleteElever Agency