loading...

DISINTEGRASI BANGSA MASA REVOLUSI FISIK, PEMBENTUKAN RIS dan GERAKAN RMS



BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik. Hal tersebut merupakan hasil daripada upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari pihak-pihak yang sering merongrong kemerdekaan Indonesia. Sebagai negara kesatuan sudah barang tentu kemajemukan menjadi hal yang pasti akan dijumpai dalam dunia kemasyarakatannya. Hal itu dapat dilihat dari beragamnya suku bangsa dan sistem sosial yang ada di Indonesia.
Keberagaman tersebut dibingkai dalam sebuah negara kesatuan. Dimana kemajemukan tersebut dijadikan satu diatas perbedaan yang ada. Karena Indonesia merupakan negara yang beragam ras dan suku bangsanya, maka Indonesia juga dapat dikatakan sebagai sebuah negara-bangsa. Hal ini dapat tercermin kutipan Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dikutip oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia (1998) bahwa :
Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan -atau nasionalisme- yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik atau golongannya.
Hal tersebut di atas secara tersirat menunjukkan bahwa terbentuknya negara kesatuan Indonesia ialah oleh adanya semangat persatuan dan rasa untuk berdiri di atas paham kebangsaan. Bukan lagi di atas paham kesukuan atau rasa chauvinistis dan primordialisme. Secara historis tercatat bahwa semangat keindonesiaan menjadi landasan para pendiri dan pejuang bangsa untuk bersatu. Kemudian rasa kebangsaan menjadi salah satu dasar daripada berdirinya sebuah bangsa yang kemudian bernama Indonesia.
Sudah sangat jelas bahwasanya poros utama terbentuknya negara-bangsa ialah nasionalisme. Nasionalisme Indonesia akan turut serta menentukan dan memperlihatkan eksistensi daripada negara-bangsa tersebut. Nasionalisme bukan hanya harus dimiliki dalam masa mengusir penjajahan (seperti yang terjadi di beberapa negara, juga Indonesia, dalam merebut kemerdekaan) namun pula harus terus dimiliki sampai kapanpun. Hal ini guna tetap mempertahankan eksistensi dan identitas kebangsaan negara yang bersangkutan.
Jika kita melihat kondisi nasionalisme dari negara-bangsa Indonesia dewasa ini dapat terlihatlah adanya sebuah penipisan dan pemunduran. Kita dapat melihat, bahwa rasa nasionalisme bangsa ini telah sampai kepada titik yang sangat mengkhawatirkan dan membahayakan bagi eksistensi negara-bangsa Indonesia. Dalam bidang politik misalnya, kita akan melihat maraknya disintegrasi bangsa yang disebabkan oleh menipisnya rasa nasionalisme sehingga berujung kepada ancaman pecahnya kesatuan dan persatuan nasional. Etnisitas dan gerakan separatis seolah menjadi jamur di musim hujan. Konflik yang mengatasnamakan ras dan suku dari hari ke hari semakin menjadi. Gerakan separatispun semakin menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan nasional memang sedang terancam. Pasca reformasi terjadi gerakan-gerakan tersebut semakin nyata terasa.
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru.  Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.
Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.
Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini.  Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama.  Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat.  Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus kearah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.
Sebetulnya gerakan separatis bukan hal baru dalam dinamika kenegaraan Indonesia. Secara historis dan sosiologis tercatat bahwa di Indonesia, setelah kemerdekaan, kerap terjadi berbagai gerakan yang berupaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diantaranya yang tercatat ialah DI/TII (gerakan mendirikan negara islam), Republik Maluku Selatan (gerakan yang berupa upaya pemisahan diri kawasan Maluku dari wilayah NKRI), dan OPM (gerakan di Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI yang didasari ketidaksamaan unsur historis bangsa).
Hal tersebut sedikit banyak mempengaruhi sikap nasionalisme seorang anak bangsa. Karena, dari Sabang sampai Merauke, NKRI ini dibentuk dan berdiri dengan dasar sikap kebangsaan yang merasa satu dalam nasib dan perjuangan. Oleh karenanya kajian mengenai fenomena disintegrasi bangsa yang berpengaruh terhadap sikap nasionalisme Indonesia menarik untuk dikaji sebagai bentuk penumbuhan dan pengembangan pengetahuan dan pemahaman mengenai Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      DISINTEGRASI BANGSA MASA REVOLUSI FISIK
Negara-bangsa Indonesia merupakan sebuah entitas yang berdiri di atas kemajemukan. Sebenarnya, kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor yang kemudian menyebabkan terbentuknya negara-bangsa Indonesia. Kemajemukan masyarakat Indonesia terlihat seperti yang dinyatakan oleh Furnivall (Nasikun, 2006 : 35), bahwa “masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik”.
Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk telah menimbulkan persoalan intergrasi pada tingkatan nasional. Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang  bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal. Maka, tak jarang kemajemukan bangsa Indonesia dapat menyebabkan konflik horizontal yang berujung pada ancaman disintegrasi bangsa.
Hal tersebut terekam secara historis bahwa dalam enam dasawarsa perikehidupan kenegaraan di tanah air, terbukti bangsa Indonesia pernah mengalami beberapa   kali konflik yang erat kaitannya dengan unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) serta politik. Sekalipun masalah SARA ini tidak sampai berujung pada terjadinya separatisme pada wilayah Indonesia yang sudah bersatu sejak awal kemerdekaan. Namun harus diakui bahwa beberapa kelompok kecil masyarakat lainnya telah menunjukkan bahwa di Indonesia mempunyai potensi untuk itu.
Maraknya disintegrasi bangsa disebabkan oleh menipisnya rasa nasionalisme. Sehingga berujung kepada ancaman pecahnya kesatuan dan persatuan nasional. Etnisitas dan gerakan separatis seolah menjadi jamur di musim hujan. Konflik yang mengatasnamakan ras dan suku dari hari ke hari semakin menjadi. Gerakan separatispun semakin menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan nasional memang sedang terancam. Selain itu konflik yang bernuansa etnis atau antar golongan disebabkan karena lunturnya nilai-nilai agama, adat dan sejarah. Kini hal tersebut telah dikalahkan oleh egoisme SARA itu sendiri.
Gerakan separatisme yang mengancam disintegrasi bangsa sebenarnya telah muncul sejak dahulu. Hal ini dapat dilihat dari maraknya gerakan-gerakan separatis seperti DI/TII, RMS atau PRRI/PERMESTA. Namun, meningkatnya tensi separatisme dirasakan pada masa pasca reformasi berlangsung.Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002 : 120-122) bahwa :
Kejatuhan Presiden Soeharto dari singgasananya pada Mei 1998 sebagai akibat lanjutan dari krisis moneter, ekonomi dan politik telah mengancam integrasi nasional negara-bangsa Indonesia…. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, sistem sosial yang berbeda kelihatannya semakin rapuh.
Menurut F.M. Suseno (Richard M Daulay, 2003 : 31-40), ada beberapa hal yang menyebabkan maraknya fanatisme sehingga pecahnya integrasi nasional. Pertama ialah masalah sentralisme, yang kedua ialah masalah primordialisme, dan yangketiga adalah permasalahan ketidakadilan sosial. Kesemuanya tersebut nampak dalam beberapa konflik yang menyebabkan disintegrasi, seperti yang terjadi di Aceh, Papua, Riau, Ambon dan Timor-Timor. Permasalahan disintegrasi bangsa merupakan tantangan yang harus dihadapi demi bertahannya eksistensi negara-bangsa Indonesia yang didasarkan atas konsesus bersama serta sikap dan jiwa nasionalisme.
Disintegrasi bangsa juga dapat ditinjau dari maraknya konflik horizontal yang bersifat politis maupun ideologis. Pada tingkatan ideologis, konflik tersebut terwujud dalam bentuk konflik antara sistem-nilai yang dianut serta menjadi ideologi dari berbagai kesatuan sosial. Pada konflik yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya di dalam masyarakat. Konflik-konflik ini biasanya terjadi pada kalangan elite yang akan berekses terhadap kalangan graas roots (kalangan pada tingkatan terbawah).
Situasi konflik seperti itulah yang kemudian membuat para pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas ke dalam diantara sesama anggotanya. Diantaranya ialah dengan membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, bersaing dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan politik. Hal tersebut nampak dalam konflik komunal bangsa Indonesia atau konflik antar elite partai politik. Sehingga hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi negara-bangsa Indonesia.
Strategi seperti apa yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengatasi disintegrasi bangsa tersebut. Strategi tersebut diantaranya ialah seperti yang dikemukakan oleh Richard M Daulay (2003 : 31-40) pertama, dengan memperkuat kembali Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, menciptakan keadilan sosial dan pemerataan antara pusat dan daerah. Ketiga, membangun budaya Indonesia yang akan menyatukan seluruh elemen bangsa. Keempat ialah pelaksanaan otonomi daerah yang benar dan tepat. Sehingga antar daerah akan terjalin kerjasama dan kemajuan tanpa harus menimbulkan kecemburuan dan keinginan untuk memisahkan diri.
Artinya secara sederhana dapat dikatakan ada dua hal yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut.Pertama, secara politis (struktural) dan yang kedua ialah secara sosial (kultural). Secara struktural diharapkan pemerintah dapat membuat dan menerapkan kebijakan-kabijakan yang dapat dikatakan merata dan tidak membuat kecemburuan antar suku bangsa. Sedangkan secara kultural bahwa diharapkan masyarakat sebagai sebuah kesatuan dapat secara aktif mengeratkan diri melalui budaya lokal yang dapat menjadi penyangga bagi kesatuan nasional.
B.      ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA PADA MASA REVOLUSI FISIK
1.       PKI MADIUN 1948
Waktu        : 1948, dengan memproklamasikan berdirina Negara Republik Soviet Indonesia
Sebab         : Hasil kesepakatan Renville menguntungkan Belanda
Pemimpin   : Muso
          Cara Penumpasan: Pemerintah mengajak rakyat ( Gerakan Operasi Militer I ) dan melakukan penyitaan dan pelarangan terhadap beberapa surat kabar berhaluan komunis
Hasil                    : Pemberontak ditumpas dan Madiun direbut kembali
          Munculnya PKI merupakan awal dari perpecahan pada SI ( Sarikat Islam ) yang mendapat pengaruh ISDV ( Internasionalisme Sosialisme Democratise Vereeniging ) yang didirikan oleh H.J.F.M Snevliet dkk pada bulan Mei 1914 di Semarang, lalu pada bulan Desember diubah menjadi PKI.
          Pada tanggal 13 Nopember 1926 PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Lalu pada tanggal 18 September 1948 Muso memimpin pemberontakan terhadap RI di Madiun, yang bertujuan ingin mengubah dasar negara Pancasila menjadi dasar negara Komunis. Pemberontakan ini ikut menyebar hampir di seluruh daerah Jawa Timur namun berhasil di gagalkan dengan ditembak matinya Muso sedangkan Semaun dan Dharsono lari ke Rusia.
2.       APRA ( ANGKATAN PERANG RATU ADIL )
Waktu : 23 Januari 1950
Latar belakang : APRA menuntut supaya APRA diakui sebagai Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Pasundan/negara Federal tersebut.
Pemimpin : Kapten Raymond Westerling
Cara mengatasi : Melakukan gerakan operasi militer
Hasil : Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950. Akan tetapi, Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri
          Pemberontakan ini dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling bekas tentara KNIL. Tujuannya agar pemerintah RIS dan negara Pasundan mengakui APRA sebagai tentara negara Pasundan dan agar negara Pasundfan tidak dibubarkan/dilebur ke dalam NKRI.
3.       PEMBERONTAKAN ANDI AZIS
Waktu : 5 Januari 1950
Latar belakang : Menyerang gedung tempat berlangsungnya sidang kabinet
Pemimpin : Andi Azis
Cara penumpasan : Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4x24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hasil : pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan harus dilepaskan.
          Beliau merupakan komandan kompi APRIS yang menolak kedatangan TNI ke Sulawesi Selatan karena suasananya tidak aman dan terjadi demonstrasi pro dan kontra terhadap negara federasi. Ia dan pasukannya menyerang lapangan terbang, kantor telkom, dan pos-pos militer TNI. Pemerintah mengeluarkan ultimatum agar dalam tempo 4 x 24 jam ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
4.       RMS ( REPUBLIK MALUKU SELATAN )
Waktu : 25 April 1950
Latar belakang : Tidak puas dengan terjadinya proses kembali ke NKRI
Pemimpin : Dr. Christian Robert Steven Soumokil
Cara penumpasan : diselesaikan secara damai dengan mengirimlkan misi dipimpin Leimena gagal sehingga kemudian dikrimkan pasukan ekspedisi militer pimpinan Kawilarang.
Hasil : Sisa – sisa kekuatan RMS banyak yang melarikan diri ke pulau seram dan membuat kekacauan akhirnya Soumokil dapat di tangkap dan jatuhi hukuman mati
Pemberontakan ini dipimpin oleh Dr. Christian Robert Stevenson Soumokil bekas jaksa agung NIT ( Negara Indonesia Timur ). Ia menyatakan berdirinya Republik Maluku Selatan dan memproklamasikannya pada 25 April 1950. Pemberontakan ini dapat ditumpas setelah dibayar mahal dengan kematian Letkol Slamet Riyadi, Letkol S. Sudiarto dan Mayor Abdullah.
5.       PRRI/PERMESTA
PRRI ( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia )
Waktu : 15 Februari 1958
Latar belakang : Keinginan adanya otonomi yg luas
Pemimpin : Letnal Kolonel Achmad Husein
Cara penumpasan : Operasi militer Pemerintah mengerahkan pasukan militer terbesar di sejarah militer Indonesia
Hasil : Operasi militer dipimpin AE Kaliurang berhasil kembali menguasai daerah
PERMESTA ( Piagam Perjuangan Rakyat Semesta )
Waktu : 7 Februari 1958
Latar belakang : Masyarakat di manado tidak puas dengan keadaan ekonomi
Pemimpin : Letkol Ventje Sumual
Cara penumpasan : Pemerintah Republik Indonesia menggunakan operasi militer untuk menghentikan pemberontakan 
Setelah Pemilu I dilaksanakan, situasi semakin memburuk dan terjadi pertentangan . Beberapa daerah merasa seolah-olah diberlakukan secara tidak adil ( merasa dianaktirikan ) sehingga muncul gerakan separatis di Sumatera yaitu PRRI ( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ) dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husen dan PERMESTA ( Piagam Perjuangan Rakyat Semesta ) di Sulawesi Utara dipimpin oleh D.J. Somba dan Kolonel Ventje Sumual.
6.       G30 S/PKI
Waktu : 30 September 1998
Latar belakang : Mengganti Ideologi Pancasil
Pemimpin : DN Aidit
Cara penumpasan : Operasi Militer
Hasil : PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan dibubarkan
Pada tanggal 30 September 1965 jam 03.00 dinihari PKI melakukan pemberontakan yang dipimpin oleh DN Aidit dan berhasil membunuh 7 perwira tinggi. Mereka punya tekad ingin menggantikan Pancasila sebagai dasar negara dengan Komunis-Marxis. Setelah jelas terungkap bahwa PKI punya keinginan lain maka diadakan operasi penumpasan :
1.       Menginsyafkan kesatuan-keasatuan yang dimanfaatkan oleh PKI
2.       Merebut studio RRI dan kantor besar Telkom dipimpin Kolonel Sarwo Edhy Wibowo dari RPKAD
3.       Gerakan pembersihan terhadap tokoh-tokoh yang terlibat langsung maupun yang mendalanginya.
Akhirnya PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan tidak boleh lagi tersebar di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan SK Presiden yang ditanda tangani pengemban Supersemar Ltjen Soeharto yang menetapkan pembubaran PKI dan ormas-ormasnya tanggal 12 Maret 1966.
Pada tanggal 29 Oktober 1949 dapat ditandatangani Piagam Persetujuan Konstitusi RIS. Piagam persetujuan konferensi RIS antara Republik Indonesia dengan BFO. Hasil keputusan KMB diajukan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selanjutnya KNIP bersidang dari tanggal 6-14 Desember 1949 untuk membahas hasil-hasil itu. Pembahasan hasil KMB oleh pihak KNIP dilakukan melalui pemungutan suara dengan KNIP menerima hasil KMB.
Salah satu keputusan KMB di Den Haag Belanda adalah Indonesia menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia serikat. Untuk menjadi RIS tersebut, KNIP dan DPR mengadakan sidang di Jakarta. Sidang tersebut berhasil menyetujui naskah konstitusi untuk RIS yang dikenal sebagai UUD RIS. Pada tanggal 16 Desember 1949 diadakan sidang pemilihan Presiden RIS di Gedung Kepatihan, Yogyakarta oleh wakil dari enam belas negara bagian. Sidang itu dipimpin oleh Muh. Roem dan anak Agung Gede Agung. pada tanggal 14 Desember 1949 para wakil pemerintah yang menjadi bagian dari RIS. Pada tanggal 14 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno. Akhirnya, Ir. Soekarno terpilih sebagai presiden, kemudian dilantik dan diambil sumpahnya pada tanggal 17 Desember 1949. Tanggal 17 Desember 1949 diadakan upacara pelantikan Presiden RIS di Bangsal Sitinggil, Keraton Yogyakarta. Drs Moh. Hatta menjadi perdana menteri yang akan memimpin kabinet RIS. Berdasarkan UUD RIS maka DPR RIS terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Negara yang disebut senat. Kekuasaan pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Presiden hanya mempunyai wewengang untuk mengesahkan hasil keputusan cabinet yang dipimpinoleh perdana menteri.
Republik Indonesia Serikat terdiri beberapa negara bagian, yaitu:
1.    Negara Republik Indonesia (RIS)
2.    Negara Indonesia Timur
3.    Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4.    Negara Jawa Timur
5.    Negara Madura
6.    Negara Sumatera Timur
7.    Negara Sumatera Selatan
Di samping itu, ada juga wilayah yang berdiri sendiri (otonom) dan tak tergabung dalam federasi, yaitu:
1.    Jawa Tengah
2.    Kalimantan Barat (Daerah Istimewa)
3.    Dayak Besar
4.    Daerah Banjar
5.    Kalimantan Tenggara
6.    Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir)
7.    Bangka
8.    Belitung
9.    Riau
Republik Indonesia Serikat memiliki konstitusi yaitu Konstitusi RIS. Piagam Konstitusi RIS ditandatangani oleh para Pimpinan Negara/Daerah dari 16 Negara/Daerah Bagian RIS, yaitu
1.    Mr. Susanto Tirtoprodjo dari Negara Republik Indonesia menurut perjanjian Renville.
2.    Sultan Hamid II dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat
3.    Ide Anak Agoeng Gde Agoeng dari Negara Indonesia Timur
4.    R. A. A. Tjakraningrat dari Negara Madura
5.    Mohammad Hanafiah dari Daerah Banjar
6.    Mohammad Jusuf Rasidi dari Bangka
7.    K.A. Mohammad Jusuf dari Belitung
8.    Muhran bin Haji Ali dari Dayak Besar
9.    Dr. R.V. Sudjito dari Jawa Tengah
10. Raden Soedarmo dari Negara Jawa Timur
11. M. Jamani dari Kalimantan Tenggara
12. A.P. Sosronegoro dari Kalimantan Timur
13. Mr. Djumhana Wiriatmadja dari Negara Pasundan
14. Radja Mohammad dari Riau
15. Abdul Malik dari Negara Sumatera Selatan
16. Radja Kaliamsyah Sinaga dari Negara Sumatera Timur
D.      GERAKAN RMS ( REPUBLIK MALUKU SELATAN )
1.       Penyebab / Latar Belakang Pemberontakan RMS
Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu, mereka tidak puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI). Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS mengatasi keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI. Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu oleh anggota Polisi yang telah dibantu dengan pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh seorang kapten bernama Raymond Westerling yang bertempat di Batujajar yang berada di daerah Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut bahkan sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi pembunuhan dan penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para biokrat pemerintah daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat diingatkan untuk menghindari dan waspada dari ancaman bahaya tersebut. 
Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan yang berada di daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena anggota dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah ancaman senjata.
2.       Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku
Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa. 
Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi di angkatan perang tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil mengangkat sersan mayor Pattiwale, dan anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem kepangkatannya mengikuti system dari KNIL.
3.       Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku 
Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi perdamaian yang dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah terdiri atas para pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan pengikut Soumokil.
 Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut. 
Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).
Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap akhirnya dimajukan ke meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim menjatuhi sanksi hukuman tehadap :
1.             J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun
2.             Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 5 Tahun
3.             D.J Gasper,  menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4 ½ Tahun
4.             J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ Tahun
5.             G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun
6.             Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ Tahun
7.             J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun
8.             D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun
9.             Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman selama 3 Tahun
10.         F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4 Tahun
11.         T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 7 tahun
12.         D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 10 Tahun
Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang berada di pulau Seram sampai akhirnya ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963. Pada Tahun 1964, Soumokil dimajukan ke meja hijau. Selama persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa Indonesia, namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat persidangan di mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu persidangan Soumokil. Akhirnya pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi hukuman mati. Eksekusi pun dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di Pulau Obi yang berada di wilayah kepulauan Seribu di sebelah Utara Kota Jakarta.
Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda. Pengganti Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun 1966-1992, selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010 dan kemudian digantikan oleh John Wattilete.
4.       Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku
Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan oleh beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api tersebut.
Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku  karena melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan keberadaannya kepada masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak segan-segan untuk meminta pengadilan negeri Den Haang untuk menuntut Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi pada tahun 2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang menghadiri hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku. Ironisnya, pada saat penari Cakalele masuk ke dalam lapangan, mereka tidak tanggung-tanggung untuk mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY.


BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Sebagai tantangan dan paradoksial dari NKRI, maka disintegrasi bangsa haruslah dicegah dan dihilangkan dari bumi Indonesia. Pemecahan masalah tersebut dapat dilakukan lwat dua pendekatan, yakni secara struktural dan kultural. Secara struktural dengan cara pemerintah yang berwenang (pusat dan daerah) mengeluarkan kebijakan yang dapat menangkal berbagai hal yang berkenaan dengan disintegrasi bangsa. Secara kultural ialah dengan memberdayakan seluruh elemen kemasyarakatan dalam upaya penangkalan disintegrasi bangsa. Sehingga pencegahan disintegrasi bangsa dilakukan secara sistemis dan holistik.  
Strategi yang dapat digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara lain :
a.      Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
b.      Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.
c.      Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
d.       Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis.
Upaya untuk menanggulangi tantangan disintegrasi bangsa ialah dengan cara memperkuat sendi persatuan dan kesatuan yaitu dari sendi ekonomi, politik dan ideologi negara. Dari segi ekonomi ialah dengan cara membuat kebijakan kebijakan yang merata dan tidak bersifat diskriminatif terhadap daerah-daerah di Indonesia. Sedangkan segi politis dan ideologis ialah bahwa kebijakan pemerintah jangan sampai menimbulkan kesenjangan antar daerah dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi bersama yang dapat mengeratkan keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surakarta: UNS Press.
Moedjanto. 1993. Indonesia Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press.

1 Response to "DISINTEGRASI BANGSA MASA REVOLUSI FISIK, PEMBENTUKAN RIS dan GERAKAN RMS"

loading...